Tren pengajaran bahasa (terutama
bahasa asing) yang dewasa ini mengedepankan pengembangan kemampuan berbahasa
secara komunikatif telah mendorong para pengajar bahasa untuk mampu membangun “intercultural competence” (IC) pada diri
para pembelajarnya. IC menjadi suatu hal yang penting karena pada dasarnya
manusia melakukan praktik berbudaya terutama melalui bahasa. Dalam kaitannya
dengan komunikasi lintas bahasa, IC menjadi jembatan antara budaya dari
pembelajar bahasa dengan budaya target dari bahasa yang dipelajari. Pemaknaan
terhadap konsep IC ini memang cukup beragam. Kramsch (1993, dikutip dari Crozet
& Liddicoat, 1999) menyatakan bahwa setiap kali kita menggunakan bahasa
secara bersamaan pula kita mempraktikkan budaya. Menjadi kompeten secara
interkultural ibarat berada pada “third
place” (tempat ketiga). “Tempat ketiga” ini diibaratkan sebuah tempat (atau
tepatnya posisi) dimana pembelajar bahasa dapat berperan seperti seorang “outsider” dan “insider” secara bersamaan, memiliki perspektif “etic” (sebagai
orang luar) dan juga perspektif “emic” (sebagai orang dalam) terhadap budayanya
dan budaya dari bahasa yang dipelajari. IC muncul ketika pembelajar bahasa
mampu memunculkan sensitivitas budaya, yang ditandai dengan perubahan dari yang
tadinya “melihat realitas hanya dari sudut pandang budayanya sendiri” menuju
pada “menyadari akan adanya banyak sudut pandang lain di dunia ini.”
Ada beberapa strategi yang diusulkan
oleh para ahli sehubungan dengan upaya pengembangan IC ini. Liddicoat (2004)
mengajukan sebuah kerangka utama yang berisikan 4 aktivitas yang berkaitan
dengan budaya, yakni
(1)
mempelajari dan memahami sebuah praktik budaya,
(2)
membandingkan praktik budaya,
(3)
mengeksplorasi budaya, dan
(4)
memposisikan diri pada “tempat ketiga” diantara dua (atau lebih) budaya.
Liddicoat (2004)
juga menyebutkan beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan, antara lain: pengajaran
budaya secara eksplisit, pengintegrasian budaya ke dalam 4 keterampilan berbahasa,
mengajarkan budaya sejak awal pengajaran bahasa, mengajarkan secara bilingual,
melibatkan eksplorasi intercultural, dan menolong pembelajar untuk terus
belajar. Strategi lain diusulkan oleh Liddicoat, Papademetre, Scarino, &
Kohler (2003) melalui 5 prinsip pedagogis yang meliputi:
(a) “active construction”, yang mengimplikasikan perlunya pembelajar untuk mencari dan membangun
pengetahuannya sendiri mengenai budaya target sehingga mereka mampu untuk
mendeskripsikan, menganalisis, dan membandingkan budaya mereka dengan budaya
target,
(b) “making connections”, yang menekankan pada kemampuan untuk menghubungkan dan melihat keterkaitan
antarbudaya,
(c) “social
interaction”, yang diimplementasikan melalui diskusi interaktif di antara
para pembelajar,
(d) “reflection”,
yang dianggap bagian kunci yang melibatkan pembelajar untuk merespon dan
melakukan refleksi terhadap budaya dengan cara yang tidak menghakimi, dan
(e) “responsibility”,
yang mengimplikasikan kemampuan untuk membangun kesadaran atas perbedaan budaya
dan untuk menghargai orang-orang yang memiliki praktik budaya yang berbeda.
Moran
(2001) dalam pandangan yang serupa juga memberikan penekanan pada keterlibatan
pembelajar dalam mempelajari budaya. “Pengalaman budaya” digarisbawahi sebagai
kunci belajar budaya. Moran (2001) kemudian mengajukan sebuah kerangka pengembangan
IC yang dinamai “cultural knowings” yang terdiri dari 4 interaksi pembelajaran
yang saling berkaitan, yakni “knowing
about”, “knowing how”, “knowing why”, and “knowing oneself”. Dia pun kemudian mengembangkan sebuah model
berupa siklus yang terdiri dari “participation,
“description”, “interpretation”, and “reflection”. Melalui integrasi
kerangka dan model yang dikembangkan ini, bahasa dalam kaitannya dengan belajar
budaya dijabarkan melalui 4 fungsi utama, yakni bahasa untuk berpartisipasi
dalam budaya, bahasa untuk mendeskripsikan budaya, bahasa untuk menafsirkan
budaya, dan bahasa untuk merespon terhadap budaya yang dipelajari tersebut.
EmoticonEmoticon