Bacalah hikayat berikut ini!
Hikayat Cabe Rawit
Alkisah, pada zaman dahulu
hiduplah sepasang suami-isteri di sebuah kampung yang jauh dari kota. Keadaan
suami-isteri tersebut sangatlah miskin. Rumah mereka beratap anyaman daun
rumbia, lantai hanya berupa tanah yang diratakan, dan di dalamnya hanya ada
selembar tikar terbuat dari anyaman daun pandan sebagai tempat untuk
beristirahat. Suatu hari terjadi suatu percakapan serius diantara kedua
suami-isteri tersebut. “Isteriku, sebenarnya apa kesalahan kita hingga setua
ini belum juga dikaruniai momongan. Padahal, aku tidak pernah berbuat jahat
dengan menipu atau mencuri walau kita kadang tidak mempunyai beras untuk
ditanak,” kata sang suami.
“Entahlah, suamiku. Aku juga
tidak pernah berbuat jahat dan bahkan selalu rajin beribadah,” jawab sang
isteri sambil menahan air mata. “Mungkin kita kurang berserah diri dalam
beribadah. Bagaimana kalau nanti malam kita sholat tahajud sambil memohon agar
dikaruniai momongan?” Tanpa mengiyakan lagi, sang isteri langsung berucap,
“Kalau diberi anak, walau sebesar cabe rawit pun akan aku rawat dengan penuh
kasih sayang.”
Singkat cerita, beberapa
minggu kemudian sang isteri mulai merasakan mual dan sakit pada bagian perutnya
karena hamil. Namun, pasangan ini tidak merasa curiga dan menganggap hanya
sakit perut biasa. Dan, karena datangnya sakit tidak berlangsung secara
terus-menerus serta kondisi perut yang tidak membengkak seperti layaknya orang hamil,
maka sang isteri tetap bekerja seperti biasa membantu suaminya mencari nafkah. Suatu
ketika setelah sholat Subuh sang isteri merasakan sakit yang teramat sangat
pada bagian perutnya. Hal ini membuat suaminya menjadi bingung sekaligus
gelisah. Ia ingin segera membawa isterinya berobat ke tabib atau dukun
terdekat, tetapi tidak mempunyai uang sepeser pun untuk membayarnya.
Tidak berapa lama kemudian
sakit sang isteri mulai mereda karena telah berhasil melahirkan bayinya dengan
selamat. Tetapi betapa terkejutnya mereka ketika melihat kondisi fisik bayi
tersebut hanya sebesar cabe rawit. Sang isteri pun menjadi bersedih hati. Ia
tidak mengira kalau bakal melahirkan dan mendapatkan bayi yang ukurannya super
mungil. Untuk menenangkan hati isterinya, sang suami lalu berkata, “Sudahlah
isteriku, apapun kondisi bayi ini, dia adalah karunia Ilahi yang harus kita
rawat dan jaga. Masih ingatkah engkau kalau dahulu pernah berkata akan menjaga
dan merawat dengan penuh kasih sayang apabila dikaruniai anak walau hanya
sebesar cabe rawit?”
Tanpa berkata sepatah pun,
sang isteri hanya tersenyum. Sebuah senyum bahagia karena akhirnya dipercaya
oleh Tuhan untuk memiliki momongan. Ia telah menjadi seorang ibu. Suatu hal
yang selama ini selalu didambakan olehnya dan setiap wanita di dunia ini. Mulai
sejak saat itu, sang bayi yang berjenis kelamin perempuan dirawat dengan penuh
kasih sayang hingga remaja. Namun, mungkin karena sudah suratan takdir,
tubuhnya tidak tumbuh besar dan tetap seperti cabe rawit. Walau begitu, ia masih
bisa membantu ayahnya bekerja sebagai kuli pengangkut barang di pasar untuk
mendapatkan sedikit rezeki.
Suatu ketika, karena terlalu
lelah bekerja sang ayah jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Sementara sang ibu yang merasa sangat terpukul akan kepergian suami
tercintanya, setiap hari kerjanya hanya menangis saja. Dia sedih sekaligus
bingung karena sang suami adalah tulang punggung keluarga. Dia tidak tahu harus
berbuat apa untuk menghidupi diri dan anaknya. Hal itu membuat tubuhnya yang sudah
tua semakin rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit.
Khawatir akan kesehatan
ibunda tercintanya, sang anak yang diberi nama sesuai dengan ukuran tubuhnya
yaitu “Cabai Rawit” berinisiatif untuk menggantikan posisi sang ayah sebagai
kuli pengangkut barang di pasar. “Saya akan bekerja menggantikan Ayah, Bu,”
katanya meminta izin. “Jangan Nak, nanti kalau kau terpijak orang bagaimana?”
sahut sang Ibu.
“Mudah-mudahan tidak terjadi
apa-apa, Bu. Saya sudah biasa membantu Ayah di pasar,” jawab Cabe Rawit
singkat. “Anakku, hanya engkau sekarang satu-satunya orang yang Ibu sayangi.
Ibu tidak mau kehilanganmu Nak,” kata sang Ibu. “Yakinlah kalau semuanya akan
baik-baik saja asalkan ibu mau mendoakan saya. Nanti kalau memang ternyata
tidak sanggup, Saya akan langsung pulang,” desak Cabe Rawit.
Setelah berpikir beberapa
saat, akhirnya Sang Ibu luluh hatinya. “Baiklah anakku, kalau engkau memaksa.
Berhati-hatilah engkau selama bekerja dan jangan terlalu memaksakan diri. Ibu
tidak mau hal serupa yang terjadi pada Ayahmu terulang kembali pada dirimu.” Setelah
mendapat restu dari Ibunya, tanpa bekal apapun Cabe Rawit segera berangkat ke
pasar. Ketika sampai di sebuah perempatan jalan dia berpapasan dengan seorang
pedagang pisang. Karena tubuhnya sangat kecil, sang pedagang tidak melihat
sehingga raga pisangnya nyaris mengenai tubuh Cabe Rawit.
“Awas Pak, raga pisangmu
hampir mengenai tubuhku,” teriak Cabe Rawit. Sepontan sang pedagang pisang
menghentikan langkahnya sambil celingak-celinguk melihat ke samping dan belakang.
“Awas Pak, raga pisangmu hampir mengenai tubuhku,” teriak Cabe Rawit lagi. Sang
pedagang pisang kembali celingak-celinguk untuk mencari sumber suara tadi.
Tetapi tidak ada sesosok manusia pun dijumpainya.
“Raga pisangmu hampir
menghimpit tubuhku,” teriak Cabe Rawit kesal. Sang pedagang pisang yang tetap
tidak dapat melihat siapa yang sedang berteriak akhirnya menjadi ketakutan.
Tanpa berpikir panjang, dia langsung saja ambil langkah seribu dan meninggalkan
dagangannya begitu saja karena mengira ada makhluk halus yang ingin
mengganggunya.
Dagangan yang ditinggalkan
itu lalu diambil oleh Cabe Rawit untuk dibawa pulang ke rumah. Pikirnya,
daripada diambil orang atau dimakan hewan ternak, lebih baik pisang-pisang itu
ia bawa ke rumah untuk dimakan bersama ibunya sebagai pengganti nasi. Keesokan
harinya ketika berjalan di tempat yang sama Cabe Rawit hampir dilindas oleh
seseorang yang sedang bersepeda sambil membawa beras. Karena kaget, Si Cabe
Rawit lalu berteriak, “Hati-hati, ban sepedamu dapat menggilas tubuhku!”
Sama seperti pedagang pisang
kemarin, orang yang ternyata pedagang beras tersebut langsung menghentikan laju
sepedanya sambil celingak-celinguk mencari sumber suara yang didengarnya.
Namun, karena tidak ada orang disekitarnya sang pedagang beras langsung
mengayuh sepedanya dengan meninggalkan beberapa karung berasnya agar lebih
ringan.
Sepeninggal pedagang beras,
Cabe Rawit langsung membawa beras yang ditinggalkan untuk dibawa pulang ke
rumah. Sesampainya di rumah dia langsung menceritakan kejadian tersebut kepada
ibunya. “Tadi di perjalanan menuju pasar saya berpapasan dengan seorang
pedagang beras. Waktu itu ban sepedanya hampir saja melindas. Tetapi ketika
saya berteriak, dia malah melarikan diri dan meninggalkan berasnya begitu saja.
Daripada diambil orang atau dimakan burung, sebagian beras itu saya bawa
pulang. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi, Bu?”
Hal serupa juga terjadi pada
keesokan harinya, namun kali ini dengan seorang pedagang ikan. Dan sama seperti
pedagang pisang maupun beras, sang pedagang ikan juga lari tunggang langgang
dengan meninggalkan dagangannya begitu saja. Ikan-ikan itu juga dibawa pulang
oleh Cabe Rawit dengan alasan dari pada dimakan kucing atau binatang lain
pemakan daging.
Begitulah, setiap hari Cabe
Rawit selalu saja berpapasan dengan para pedagang, mulai dari pedagang makanan,
pakaian, hingga perhiasan. Mereka semua ketakutan dan meninggalkan barang
dagangannya, sehingga Cabe Rawit selalu membawa pulang berbagai macam barang
tanpa harus bekerja sebagai kuli angkut di pasar. Lama-kelamaan, karena Ibu
Cabe Rawit semakin makmur hidupnya, para tetangga menjadi curiga. Mereka
mengira kalau Ibu Cabe Rawit melakukan hal-hal yang dilarang agama sehingga
membuat dirinya kaya tanpa harus bekerja membanting tulang. Oleh karena itu,
diketuai oleh kepala kampung, para warga berbondong-bondong mendatangi rumah
Ibu Cabe Rawit untuk meminta penjelasan.
Setelah bertemu dengan Ibu
Cabe Rawit, Sang Kepala Kampung sebagai juru bicara langsung bertanya, “Dari
mana engkau mendapatkan kekayaan, padahal tidak bekerja dan tidak ada orang
yang memberimu nafkah lagi?”
Ibu Cabe Rawit hanya diam
seribu bahasa sehingga Sang Kepala Kampung mengulangi pertanyaannya lagi,
“Tolong jawab pertanyaanku agar warga desa di sini tidak curiga terhadapmu.” Tiba-tiba
dari dalah rumah terdengar suara, “Tolong jangan ganggu Ibuku. Kalau kalian
ingin menyakiti, sakitilah aku. Ibuku tidak bersalah.”
Orang-orang yang mendengar
suara itu sontak terkejut. Mereka hanya mendengar suara namun tidak melihat
orangnya sehingga suasana menjadi tegang. Kecurigaan penduduk semakin bertambah
besar sehingga Ibu Cabe Rawit akhirnya menjelaskan suara siapa yang keluar dari
dalam rumahnya. Dia tidak hanya menjelaskan asal muasal Cabe Rawit, tetapi juga
bagaimana ia bisa hidup sejahtera selama ini walau tidak bekerja. Penjelasan
itu akhirnya membuat seluruh penduduk mahfum dan berbalik menjadi simpatik.
Mereka pun lalu sepakat untuk membuatkan rumah yang lebih layak bagi Cabe Rawit
dan ibunya. Selain itu, mereka juga memberikan segala keperluan untuk hidup
sehingga Cabe Rawit tidak perlu lagi pergi ke pasar dan menakuti para pedagang
untuk mendapatkan makanan.
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1.
Apa
tema dari cerita tersebut?
2.
Siapa
tokoh utama dalam cerita tersebut?
3.
Sebutkan
tiga tokoh pembantu dalam cerita itu!
4.
Sebutkan
satu saja dari setiap nilai yang terkandung di dalam cerita tersebut beserta
bukti/kutipannya!
a.
Nilai
agama
b.
Nilai
moral
c.
Nilai
sosial
d.
Nilai
politik
5. Apa sudut pandang dari hikayat
itu?
EmoticonEmoticon