Pemerolehan bahasa adalah sebuah proses dimana di dalamnya terlibat otak yang bekerja untuk menyerap aneka leksikon yang tidak pernah didengar/terdengar oleh seseorang sebelum-sebelumnya.
Pada umumnya, proses hal tersebut terjadi sangat optimal pada anak yang masih berusia dini. Dengan demikian, usia kita klasifikasikan menjadi salah satu faktor penting dalam proses pemerolehan bahasa kedua.
Untuk siapa pun siswa/pembelajar BIPA (rata-rata ialah orang asing/luar negeri), pemerolehan bahasa kedua mereka dipengaruhi oleh beberapa hal. Secara peristiwa yang alamiah, pemerolehan bahasa itu terjadi secara klasikal. Adapun pengaruh-pengaruh lainnya yang menonjol adalah budaya dan adat.
Di bawah ini, akan dikupas satu persatu ciri-ciri umum dari pemerolehan bahasa kedua.
1. Bersifat Klasikal
Mengapa dikatakan klasikal? Hal tersebut disebabkan bahwa siswa BIPA dengan kesadaran mempelajari bahasa kedua. Selain itu, situasi yang berlangsung pun formal. Siswa BIPA belajar bahasa keduanya berdasarkan aturan-aturan. Dengan kata lain tidak belajar apa adanya, tidak asal-asalan, namun mengikuti konsep-konsep yang telah dibuat pengajar. Akibatnya, para siswa BIPA kurang memiliki keterampilan penggunaan bahasa Indonesia secara langsung/sehari-hari.
Namun, ada keuntungan utama yang didapatkan. Dengan sistem yang terkonsep, maka pengetahuan dan wawasan tentang bahasa kedua akan didapatkan secara bertahap, tidak acak-acakan. Keuntungan lainnya adalah dalam keterampilan menulis. Pada umumnya, mereka lebih memiliki keterampilan dan kemampuan ketika menulis aneka karya tulis formal.
2. Adanya Keterlibatan Budaya
Terkadang seseorang belum menyadari, keberadaan adat dan budaya sebagai aspek yang amat berperan dalam pembelajaran pemerolehan bahasa. Orang dari luar negeri yang hendak belajar bahasa Indonesia, mereka berlatarbelakang budaya-budaya yang beragam, berbeda dengan budaya Indonesia. Saat mereka belajar mengenai bahasa Indonesia, otomatis, mereka pun mempelajari budaya negeri kita. Hal ini akan sangat berguna ketika berkomunikasi dengan warga Indonesia secara langsung.
Hal yang dianggap sopan di negeri mereka, belum tentu dimaklumi di negeri kita. Begitu pun sebaliknya. Itu hanyalah sedikit gambaran mengenai mengapa budaya terlibat dalam pembelajaran bahasa. Dengan mengenal perbedaan setiap bangsa, akan menghindari adanya salah paham antara siswa BIPA dan gurunya.
Contoh sederhana adalah pengucapan "Good morning".
Kalimat di atas bermakna selamat pagi. Meski pun tengah jam sebelas siang, bule mengucapkan hal tersebut, Sementara itu, di negeri kita, seharusnya pukul sebelas siang mengucapkan: "Selamat siang".
Sebuah penyesuaian tentu bukanlah hal yang gampang. Bagi siswa BIPA, terkadang mereka mengalami sebuah gangguan psikologis, yanik rasa krisis dan panik. Gangguan semacam itu dikenal sebagai culture shock. Contoh-contoh culture shock adalah di bawah ini.
- terasing
- kesedihan
- ragu-ragu
- stres
- kemarahan
- banyak pikiran hingga badan tidak fit
- ingin pulang ke negeri asal
- perasaan sendiri
3. Peranan Usia Pembelajar
Dilihat berdasarkan sudut pandang usia, anak-anak usia dini lebih baik dalam melafalkan kata-kata dibandingkan dengan orang dewasa. Mengapa begitu? Alat pengucapan orang dewasa bisa dibilang sudah kaku.
Sebaliknya untuk hal morfologi dan sintaksis. Manusia dewasa lebih mampu dan terampil dibandingkan dengan anak-anak kecil. Mengapa demikian? Karena orang dewasa telah memahami ilmu-ilmu yang lebih banyak sebelumnya. Seperti yang diketahui, memperoleh ilmu bahasa adalah pembelajaran yang bertahap.
Berdasarkan penelitian di pembelajaran BIPA, orang-orang dewasa akan lebih cepat dalam pembelajar bahasa kedua ketika mereka secara langsung hadir di lingkungan pembicara aslinya. Mengapa demikian? Alasannya adalah otak. Otak orang dewasa lebih sempurna dibandingkan dengan otak mereka sewaktu kecil.
EmoticonEmoticon