Environmental input adalah masukan
yang berasal dari luar (lingkungan) dan mempengaruhi dalam pembelajaran dan
pemerolehan bahasa kedua. Environmental input meliputi lingkungan alami maupun
lingkungan sosial. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi proses dan hasil
belajar. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik atau alam dan lingkungan
sosial.
Lingkungan fisik atau alami termasuk
didalamnya adalah seperti keadaaan suhu, kelembaban, kepengapan udara, dan
sebagainya. Belajar pada keadaan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya
daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap.
Lingkungan sosial, baik yang
berwujud manusia maupun hal-hal lainnya juga dapat mempengaruhi proses dan
hasil belajar. Seseorang yang sedang belajar memecahkan soal yang rumit dan
membutuhkan konsentrasi tinggi, akan terganggu jika ada orang lain keluar-masuk,
bercakap-cakap didekatnya dengan suara keras, dan lain-lain.
Adapun input lingkungan (environmental
input) bisa berupa sosial
budaya masyarakat, aspirasi pendidikan orang tua siswa, kondisi fisik sekolah, dan
sejenisnya, selama masih berasal dari lingkungan.
Selain itu, ada juga hipotesis input Krashen untuk menjelaskan
bagaimana pembelajar memperoleh bahasa kedua, yang biasanya berasal dari
lingkungan. Dengan kata lain, hipotesis ini menjelaskan bagaimana didapatnya
bahasa kedua berlangsung menurut Krashen. Hipotesis input hanyalah terkait
dengan ‘didapatnya’ tidak ‘pelajaran’.
Menurut hipotesis ini, pelakar memeperbaiki dan maju sepanjang order
(pesanan) yang alami (wajar) ketika dia menerima bahasa kedua ‘masukan’ sebagai
satu langkah di luar arus dia melangkah kemampuan bahasa. Sebagai contoh, jika
suatu pelajar adalah di suatu langkah tahap ‘i’, lalu didapatnya berlangsung
ketika dia diunjukkan ke ‘masukan yang dapat dimengerti’ bahwa
(masuk/kepunyaan) tingkatan’ i+1. Namun, tidak semua dari pelajar-pelajar itu
dapat di tingkat yang sama dengan kemampuan bahasa pada waktu yang sama.
Krashen menyatakan bahwa masukan
komunikatif alami (wajar) adalah kunci untuk merancang suatu silabus. Dengan
cara ini, bisa memastikan bahwa masing-masing pelajar akan menerima seperti 'i + 1' masuk, sesuai dengan langkah
kemampuan mereka berbahasa. Pemelajar bahasa
kedua dianggap mengalami suatu perkembangan dari tahapan i (kompetensi
sekarang) menuju tahapan ‘i + l’. Untuk menuju tahapan ‘i + 1’ dituntut suatu
syarat bahwa pembelajar tersebut sudah mengerti mengenai masukan yang berisi ‘i
+ l’ itu.
Hipotesis
ini menjelaskan bahwa pembelajaran bahasa kedua dianggap akan terjadi jika
hanya siswa mendapatkan informasi/pengetahuan setingkat lebih tinggi daripada
yang telah dikuasainya. Hipotesis ini dirumuskan dengan [i + 1], di mana i = pengetahuan
yang sudah dimiliki siswa (kompetensi sebelum belajar) dan 1 = kompetensi
setingkat dari sebelumnya. Jika ‘i + 2’, atau lebih, maka pembelajaran akan
sulit terjadi karena siswa akan merasakan kesulitan, sedangkan jika ‘i + 0’,
atau ‘i – 1’ dan seterusnya mengindikasikan bahwa pembelajaran dilakukan dengan
pengetahuan sebagai input yang sudah bahkan jauh telah dikuasai siswa.
Dengan
demikian, bisa disimpulkan bahwa peranan input lingkungan (environmental input)
memiliki peranan yang penting, sebagai contoh input environmental yang berupa
fisik, bisa mempengaruhi kenyamanan siswa belajar. Sementra itu, input
lingkungan yang berupa sosial bisa menjadi pengetahuan pembelajar bahwa dalam
komunikasi bahasa menjadi lebih fungsional ketika digunakan secara kontekstual,
contohnya mengetahui adanya penggunaan bahasa informal dan formal dalam bahasa
kedua.
EmoticonEmoticon